- Back to Home »
- Pengaruh Video Game terhadap Konstruksi Pemikiran Anak dan Gender Setereotype
Posted by : Unknown
March 29, 2016
Teknologi menjadi
bagian kehidupan kita. Secara umum teknologi dikaitkan dengan hal-hal yang
bersifat teknis. Tanpa kita sadari teknologi tidak hanya hal-hal yang berbau
mekanis dan teknis, tetapi teknologi menimbulkan pemahaman terhadap masyarakat
bahwa teknologi bersifat maskulin, seperti halnya dengan jurusan teknik dalam
suatu universitas yang lebih banyak diminati oleh laki-laki daripada perempuan.
Hal tersebut menunjukkan persepsi masyarakat mengenai sesuatu yang lebih
bersifat maskulin dan mana yang tidak, sehingga terjadi pemisahan peran gender
(maskulin dan feminim). Fenomena inilah yang akhirnya menjadi stereotype gender.
Pada era new media ini, teknologi baru lebih
mudah dipahami oleh anak-anak, daripada orang tua, karena mereka lahir pada
saat dimana teknologi itu berkembang. Pada usia 4-5 tahun, anak-anak sedang
berada dalam fase “serba ingin tahu”, saat mereka selalu penasaran dengan
hal-hal baru yang menarik perhatian mereka. Ada dua hal yang dapat mulai anak
pelajari pada usia ini, yaitu:
1. Menggunakan internet
di bawah pengawasan orang tua
2. Memainkan video
game yang mengajaknya bergerak
video game atau dapat disebut dengan game saja merupakan
salah satu hal yang sangat digemari terutama oleh anak-anak, bahkan tidak
jarang terdapat game yang mencakup edukasi di dalamnya. Namun, game ini ternyata juga
mempengaruhi tingkah laku anak dan cara anak dalam berpikir. Selama ini game
secara dominan dimainkan oleh kaum laki-laki di seluruh dunia. Dalam sebuah
survey yang dilakukan peneliti, beberapa game center, khususnya di YogYakarta,
tampak didominasi oleh kaum laki-laki. Game memang identik dengan ketangkasan
laki-laki, kalau pun ada perempuan biasanya hanya berbentuk animasi dalam game
itu sendiri. Menurut Falstein, dominasi laki-laki ini pun masuk dalam
ceruk-ceruk industri game, dari proses produksi, konsumsi hingga distribusinya.
Secara ekstrim dominasi itu dapat disaksikan dari angka perbandingan populasi
pemain game laki-laki yakni 60% dan perempuan hanya 21% nya. Game-game seperti Call of Duty, Grand Theft Auto, Need for Speed,
dan sebagainya seperti ditunjukkan hanya untuk laki-laki. Bergerak di bawah
representasi gender menuju konsumsinya, nyata bahwa aspek gender dalam game dan
fokus isi game yang kebanyakan adalah kekerasan dan eksploitasi perempuan
membuat permainan ini dikonstruksikan sebagai permainan yang tidak ramah bagi
perempuan. Perempuan, dengan konstruksi sosial yang melekat padanya dianggap
tidak cukup kompeten untuk memasuki lapangan logika bernama game itu.
Stereotype ini memunculkan asumsi bahwa perempuan memiliki skill yang lebih
rendah ketika berkompetisi di dalam arena game, serta-merta hal ini menyumbat
kesempatan perempuan untuk berlaga di arena tersebut.
Fakta menyebutkan bahwa
ternyata perempuan pun secara diam-diam mengambil peran dalam
permainan-permainan secara online. Mereka bermain dengan teman, keluarga, atau
pun orang yang belum mereka kenal. Hal ini memberi bukti bahwa sejatinya ada
kebutuhan yang sama antara perempuan dan laki-laki dalam keterlibatannya dengan
game. Di dalam game terkandung kenikmatan aktivitas secara komunal melalui
jaringan yang selama ini juga didambakan oleh kaum perempuan.
Di Indonesia sendiri,
penikmat game masih didominasi oleh anak laki-laki. Hanya sedikit anak
perempuan yang bermain game. Hal ini dikarenakan game yang beredar di Indonesia
memiliki segmentasi untuk laki-laki ketimbang perempuan. Aksesibilitasnyapun
masih terbilang cukup rendah karena jika ingin memainkan game-game tersebut
harus datang ke game center, dalam hal ini warung internet (warnet). Jika
anak-anak dapat mengakses game dari rumah mereka masing-masing, akan terdapat
kemungkinan menurunnya potensi gender stereotype, karena mereka tidak harus
bertatap muka secara langsung di warnet dan anak perempuan dapat memanfaatkan
hal ini utnuk turut berpartisipasi dalam bermain game tanpa harus memikirkan
apa yang akan dipikirkan terhadap mereka. Selama ini sudah cukup terkonstruksi
bahwa game-game perang, strategi, dan perkelahian hanya ditujukan untuk anak
laki-laki dan jika anak perempuan memainkannya akan dicap tomboy, hal
tersebutlah yang menyebabkan jarangnya anak perempuan bermain game di warnet. Begitu
juga sebalikanya, dengan dapat mengakses game dari rumah, anak laki-laki yang
ingin bermain game dengan tema fashion dan sebagainya akan jauh lebih tenang
tanpa harus dicap seperti banci oleh teman-temannya.
Hal di atas sebenarnya
dapat diatasi dengan pendidikan sejak dini lewat dukungan dan partisipasi dari
orang tua. Ketika orang tua memahami bahwa anak laki-laki memainkan game
bertema fashion dicap seperti banci, maka peran orang tua adalah mencoba
meluruskan bahwa itu salah, dengan bermain game bertema fashion tidak membuat
anak laki-laki menjadi lemah, bahkan hal tersebut bisa menjadi bakat yang
bermanfaat di kemudian hari, begitu juga sebaliknya dengan anak perempuan yang
bermain game perang. Yang patut diperhatikan bagi para orang tua adalah
bagaimana cara mengawasi para anak-anak dalam beretika dan mampu menyaring mana
yang baik dan mana yang berbahaya dari konten game yang dimainkan oleh
anak-anak mereka.
Lalu, untuk
mengatisipasi miskonsepsi akan gender pada diri anak-anak lewat bermain game,
para orang tua wajib memahami dan memberikan edukasi bagi anak-anak mereka
tentang apa itu gender dengan beberapa tips di bawah ini:
- Tawarkan berbagai pilihan dan kesempatan bermain untuk semua anak laki-laki maupun perempuan. Dorong anak-anak mencoba mainan dan kegiatan yang berbeda untuk melihat apa yang mereka sukai.
2. Jika anak laki-laki suka menari, Anda harus
memberi kesempatan luas. Jangan paksa ia pindah ke musik karena Anda merasa
laki-laki tidak cocok menekuni tari.
3. Anda bisa membaur dalam permainan mereka.
Tunjukkan kepada mereka bahwa tidak ada batas untuk melakukan semua permainan
dan tidak ada perbedaan jenis kelamin.
4. Jangan menggunakan kata-kata gender ketika
anak-anak ada masalah. Misalnya Anda mengatakan anak laki-laki tidak boleh main
boneka atau anak perempuan tidak boleh memanjat, mislanya. Penelitian
menunujukkan jika orangtua atau guru melakukan demikian, maka anak-anak akan
berpotensi bias gender ketika dewasa.
5. Libatkan anak-anak dalam menentukan
permainan mereka. Tanyakan kepada mereka, kenapa mereka memilih mainan
itu. Ajukan pertanyaan terbuka agar anak-anak bisa mengeluarkan argumentasinya.
Sisihkan waktu untuk mendengarkan alasan mereka.
6. Mendorong kegiatan interaktif dengan semua
anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Ini memungkinkan mereka bisa lebih
berinteraksi.