Archive for March 2016
Pengaruh Video Game terhadap Konstruksi Pemikiran Anak dan Gender Setereotype
By : Unknown
Teknologi menjadi
bagian kehidupan kita. Secara umum teknologi dikaitkan dengan hal-hal yang
bersifat teknis. Tanpa kita sadari teknologi tidak hanya hal-hal yang berbau
mekanis dan teknis, tetapi teknologi menimbulkan pemahaman terhadap masyarakat
bahwa teknologi bersifat maskulin, seperti halnya dengan jurusan teknik dalam
suatu universitas yang lebih banyak diminati oleh laki-laki daripada perempuan.
Hal tersebut menunjukkan persepsi masyarakat mengenai sesuatu yang lebih
bersifat maskulin dan mana yang tidak, sehingga terjadi pemisahan peran gender
(maskulin dan feminim). Fenomena inilah yang akhirnya menjadi stereotype gender.
Pada era new media ini, teknologi baru lebih
mudah dipahami oleh anak-anak, daripada orang tua, karena mereka lahir pada
saat dimana teknologi itu berkembang. Pada usia 4-5 tahun, anak-anak sedang
berada dalam fase “serba ingin tahu”, saat mereka selalu penasaran dengan
hal-hal baru yang menarik perhatian mereka. Ada dua hal yang dapat mulai anak
pelajari pada usia ini, yaitu:
1. Menggunakan internet
di bawah pengawasan orang tua
2. Memainkan video
game yang mengajaknya bergerak
video game atau dapat disebut dengan game saja merupakan
salah satu hal yang sangat digemari terutama oleh anak-anak, bahkan tidak
jarang terdapat game yang mencakup edukasi di dalamnya. Namun, game ini ternyata juga
mempengaruhi tingkah laku anak dan cara anak dalam berpikir. Selama ini game
secara dominan dimainkan oleh kaum laki-laki di seluruh dunia. Dalam sebuah
survey yang dilakukan peneliti, beberapa game center, khususnya di YogYakarta,
tampak didominasi oleh kaum laki-laki. Game memang identik dengan ketangkasan
laki-laki, kalau pun ada perempuan biasanya hanya berbentuk animasi dalam game
itu sendiri. Menurut Falstein, dominasi laki-laki ini pun masuk dalam
ceruk-ceruk industri game, dari proses produksi, konsumsi hingga distribusinya.
Secara ekstrim dominasi itu dapat disaksikan dari angka perbandingan populasi
pemain game laki-laki yakni 60% dan perempuan hanya 21% nya. Game-game seperti Call of Duty, Grand Theft Auto, Need for Speed,
dan sebagainya seperti ditunjukkan hanya untuk laki-laki. Bergerak di bawah
representasi gender menuju konsumsinya, nyata bahwa aspek gender dalam game dan
fokus isi game yang kebanyakan adalah kekerasan dan eksploitasi perempuan
membuat permainan ini dikonstruksikan sebagai permainan yang tidak ramah bagi
perempuan. Perempuan, dengan konstruksi sosial yang melekat padanya dianggap
tidak cukup kompeten untuk memasuki lapangan logika bernama game itu.
Stereotype ini memunculkan asumsi bahwa perempuan memiliki skill yang lebih
rendah ketika berkompetisi di dalam arena game, serta-merta hal ini menyumbat
kesempatan perempuan untuk berlaga di arena tersebut.
Fakta menyebutkan bahwa
ternyata perempuan pun secara diam-diam mengambil peran dalam
permainan-permainan secara online. Mereka bermain dengan teman, keluarga, atau
pun orang yang belum mereka kenal. Hal ini memberi bukti bahwa sejatinya ada
kebutuhan yang sama antara perempuan dan laki-laki dalam keterlibatannya dengan
game. Di dalam game terkandung kenikmatan aktivitas secara komunal melalui
jaringan yang selama ini juga didambakan oleh kaum perempuan.
Di Indonesia sendiri,
penikmat game masih didominasi oleh anak laki-laki. Hanya sedikit anak
perempuan yang bermain game. Hal ini dikarenakan game yang beredar di Indonesia
memiliki segmentasi untuk laki-laki ketimbang perempuan. Aksesibilitasnyapun
masih terbilang cukup rendah karena jika ingin memainkan game-game tersebut
harus datang ke game center, dalam hal ini warung internet (warnet). Jika
anak-anak dapat mengakses game dari rumah mereka masing-masing, akan terdapat
kemungkinan menurunnya potensi gender stereotype, karena mereka tidak harus
bertatap muka secara langsung di warnet dan anak perempuan dapat memanfaatkan
hal ini utnuk turut berpartisipasi dalam bermain game tanpa harus memikirkan
apa yang akan dipikirkan terhadap mereka. Selama ini sudah cukup terkonstruksi
bahwa game-game perang, strategi, dan perkelahian hanya ditujukan untuk anak
laki-laki dan jika anak perempuan memainkannya akan dicap tomboy, hal
tersebutlah yang menyebabkan jarangnya anak perempuan bermain game di warnet. Begitu
juga sebalikanya, dengan dapat mengakses game dari rumah, anak laki-laki yang
ingin bermain game dengan tema fashion dan sebagainya akan jauh lebih tenang
tanpa harus dicap seperti banci oleh teman-temannya.
Hal di atas sebenarnya
dapat diatasi dengan pendidikan sejak dini lewat dukungan dan partisipasi dari
orang tua. Ketika orang tua memahami bahwa anak laki-laki memainkan game
bertema fashion dicap seperti banci, maka peran orang tua adalah mencoba
meluruskan bahwa itu salah, dengan bermain game bertema fashion tidak membuat
anak laki-laki menjadi lemah, bahkan hal tersebut bisa menjadi bakat yang
bermanfaat di kemudian hari, begitu juga sebaliknya dengan anak perempuan yang
bermain game perang. Yang patut diperhatikan bagi para orang tua adalah
bagaimana cara mengawasi para anak-anak dalam beretika dan mampu menyaring mana
yang baik dan mana yang berbahaya dari konten game yang dimainkan oleh
anak-anak mereka.
Lalu, untuk
mengatisipasi miskonsepsi akan gender pada diri anak-anak lewat bermain game,
para orang tua wajib memahami dan memberikan edukasi bagi anak-anak mereka
tentang apa itu gender dengan beberapa tips di bawah ini:
- Tawarkan berbagai pilihan dan kesempatan bermain untuk semua anak laki-laki maupun perempuan. Dorong anak-anak mencoba mainan dan kegiatan yang berbeda untuk melihat apa yang mereka sukai.
2. Jika anak laki-laki suka menari, Anda harus
memberi kesempatan luas. Jangan paksa ia pindah ke musik karena Anda merasa
laki-laki tidak cocok menekuni tari.
3. Anda bisa membaur dalam permainan mereka.
Tunjukkan kepada mereka bahwa tidak ada batas untuk melakukan semua permainan
dan tidak ada perbedaan jenis kelamin.
4. Jangan menggunakan kata-kata gender ketika
anak-anak ada masalah. Misalnya Anda mengatakan anak laki-laki tidak boleh main
boneka atau anak perempuan tidak boleh memanjat, mislanya. Penelitian
menunujukkan jika orangtua atau guru melakukan demikian, maka anak-anak akan
berpotensi bias gender ketika dewasa.
5. Libatkan anak-anak dalam menentukan
permainan mereka. Tanyakan kepada mereka, kenapa mereka memilih mainan
itu. Ajukan pertanyaan terbuka agar anak-anak bisa mengeluarkan argumentasinya.
Sisihkan waktu untuk mendengarkan alasan mereka.
6. Mendorong kegiatan interaktif dengan semua
anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Ini memungkinkan mereka bisa lebih
berinteraksi.
Membuat Komunitas dengan Media
By : Unknown
Teknologi
baru atau yang biasa disebut New Media ini telah menjadi media yang mempermudah
kita dalam melakukan kegiatan komunikasi. Sering orang mengatakan bahwa saat
ini kita telah memasuki sebuah era yang dinamakan cyber space. New Media mengubah masyarakat, mengubah bentuk
masyarakat menjadi suatu bentuk komunitas baru. Namun sebelum membahas mengenai
era digital elektronik, kita sebaiknya mengetahu awal sejarah teori dan
penelitian mengenai media, baik media cetak hingga sampai pada media
elektronik.
Bab
yang akan dibahas kali ini adalah bab Creating
Community with the Media : History, Theories, and Scientific Investigation yang
ada pada buku “Handbook of New Media :
Social Shaping and Social Consquences of ITC’s”. Secara keseluruhan bab ini
membahas bagaimana perkembangan atau regenerasi masyarakat dari pengguna media
lama menjadi media baru dengan adanya mediasi komunikasi serta hubungan antar
media dengan masyarakat baru tersebut. Adapun beberapa bagian yang akan dibahas
dalam chapter ini :
Bagian pertama,
menggambarkan tiga periode sejarah ketika hubungan antara masyarakat dan media
telah menjadi pusat. Sebuah deskripsi singkat dari media baru juga dibahaskan
disini.
Bagian kedua
membahas transformasi konsep masyarakat dari studi sosiologis
lokalitas-berorientasi awal yang dilakukan dari pemeriksaan multi disiplin.
Bagian ketiga
memberikan ilustrasi dari tiga jenis studi yang terkait antara masyarakat dan
media: skala kecil media elektronika, jaringan informasi masyarakat, dan
diskusi publik dan debat melalui jaringan elektronik.
Bagian keempat/
terakhir meneliti pendekatan metodologis utama dan menunjukkan bentuk agenda
penelitian yang berorientasi pada eksplorasi lebih lanjut antara masyarakat dan
media baru.
Meneliti
pendekatan secara metodologi utama yang berorientasi pada masyarakat dan
penggunaan media baru. Adapun tiga era yang akan dibahas :
1.
First Wave of Community and Media Studies / Gelombang pertama penelitian
masyarakat dan media
2.
Second Wave : Electronic Community Media / Gelombang kedua : Masyarakat media
elektronik
3.
Third Wave : Era of the Internet / Gelombang ketiga : Era Internet
Aspek Positif dan Negatif bagi Masyarakat
oleh Kehadiran (Teknologi) Media
Teknologi
(media) memang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari.
Tidak hanya mempengaruhi secara positif, seperti membantu mempermudah menjalani
kehidupan namun ternyata kehadiran teknologi juga mampu memberikan dampak
secara negatif. Berikut beberapa aspek negatif dan positif dari (teknologi)
media.
-
Aspek
Positif
kehadiran
teknologi baru akan menghapus ketidaksetaraan dan kejahatan dalam masyarakat,
pendidikan akan meningkat, warga menjadi aktif dalam perdagangan dengan adanya
kepemimpinan ekonomi baru yang lebih berkembang, selain itu masyarakat umum
percaya bahwa hilangnya nilai-nilai tradisi masyarakat dapat dihidupkan kembali
dengan berkomunikasi melalui internet.
-
Aspek
Negatif
teknologi
baru ditakutkan akan dijadikan sebagai alat potensial untuk propaganda politik,
televisi dan film, apalagi, diduga mampu merusak tatanan masyarakat, deformasi
pikiran muda dan merendahkan warisan budaya, berkurangnya interaksi sosial
secara langsung dan di era internet ini sering terjadi istilah kekerasan yang
dinamakan cyber-crime.
Karakteristik
new media diuraikan oleh McQuail (1994 : 20 – 6) sebagai suatu rancangan yang
sangat berguna. Ia mengatakan bahwa new media secara umum melibatkan pada desentralisasi
saluran pendistribusian pesan ; meningkatkan kapasitas ketersediaan transfer
pesan yang di terima. Proses komunikasi yang serba digital ini membuat
masyarakat menjadi lebih fleksibel dalam menentukan isi pesan atau informasi
apa yang ingin dikonsumsi.
Tahap Perkembangan Media dan
Masyarakat
1. First
Wave of Community and Media Studies
/ Gelombang pertama dari penelitian
Pada
awal tahap perkembangannya, kajian ini adalah sebuah karaktekristik diantara para penduduk kota dibandingkan pada area pedesaan
(Park, 1929). Park menemukan bahwa jenis berbeda pada berita yang dibaca di
kota dibandingkan di pedesaan; di kota para pembaca memiliki lebih banyak kepentingan dalam berita dari luar daerah dan para pembaca
pedesaan lebih suka pada berita lokal. Merton (1949) kemudian
menindaklanjuti pada perbedaan ini dalam
studinya mengenai “Rovere”
dan ia mengidentifikasi dua group
penduduk; lokal dan kosmopolitan.
Lokalitas berorientasi pada komunitas lokal, sedangkan kosmopolitan
orientasinya lebih luas. Surat kabar juga mengintegrasikan individu ke dalam
sebuah komunitas. Koran lokal dapat memberikan kontribusi konsensus untuk
masyarakat setempat, ia menyelidiki peran keluarga, kohesi sosial dan
partisipasi masyarakat di surat kabar komunitas pembaca. Integrasi masyarakat
dan keterlibatan masyarakat terkait dengan perhatian yang lebih besar terhadap
surat kabar lokal. Hubungan antara media dan masyarakat dilihat sebagai salah
satu konsekuensi dari masyarakat yang menggunakan media.
2.
Second Wave : Electronic Community
Media
/ Gelombang kedua : Masyarakat media elektronik
Adanya
perkembangan teknologi rekaman video portabel dan sistem distribusi televisi
kabel pada akhir tahun 1960 dan awal 1970-an membuat berbagai kelompok
menggunakan teknologi komunikasi ini sebagai inisiatif saat akan melakukan
tindakan untuk masyarakat. Media dalam konteks ini juga menciptakan 'media
komunitas' yang mengacu pada berbagai macam bentuk dimediasi komunikasi: media
elektronik seperti radio dan televisi, media cetak seperti koran dan majalah,
dan jaringan elektronik kemudian berinisiatif merangkul karakteristik baik
cetak tradisional dan media elektronik. Media komunitas meruapakan suatu ruang
bagi komunitas untuk membuat ruang-ruang medianya sendiri, untuk mengekspresikan
aspirasi dan kultural komunitas mereka.
3.
Third Wave : Era of the Internet / Gelombang ketiga : Era Internet
Indikasi
lain dari arti dan pentingnya gelombang ketiga ini adalah terbentuknya Asosiasi
Internet Peneliti dan penyelenggaraan konferensi internasional pertama pada
September 2000 (Jones, 2004). Hampir bersamaan di seluruh Amerika Utara, Eropa
dan Asia, semua mengklaim untuk menggunakan
ajaran baru. Kesimpulannya, pada era internet ini akan berlanjut bergantung
pada perbaikan konsep di masa yang akan datang.
Komunitas Virtual dan
Komunitas Organik
Komunitas
virtual merupakan kumpulan atau sekelompok orang yang muncul berdasarkan adanya
kepentingan yang sama oleh berbagai pihak dan timbulnya interaksi secara
berkesinambungan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam komunitas tersebut.
Komunitas virtual terbentuk lewat dunia maya karena interaksi antar anggotanya
yang intens di dunia maya sehingga menjadikan mereka memiliki kesenangan yang
sama. Pencetus pertama kali istilah ini adalah Rheingold dalam bukunya The
Virtual Community : Homesteading pada Electronic Frontier (2000) yang
menjelaskan bahwa di masyarakat virtual, mereka seringkali berdebat, terlibat
dalam pembahasan intelektual, melakukan perdagangan, pertukaran pengetahuan,
berbagi dukungan emosional, membuat seni dan sebagainya. Sedangkan komunitas
organik adalah kebalikan dari komunitas virtual, komunitas ini terbentuk lewat
dunia nyata.
Characteristic
|
Organic
|
Virtual
|
Composition and activity
|
Tight group (age) Several activities
|
Loose affiliation
Special activities
|
Social organization
|
Tied to place and time
|
Not tied to place and time
|
Language and interaction
|
Verbal and non-verbal
|
Verbal and paralanguage
|
Culture and identity
|
Total singular
Homogeneous
|
Partial plural
Heterogeneous
|
Source: van Dijk, 1998: 45
STUDI ILUSTRASI DARI
MEDIA BARU DAN MASYARAKAT
Di
bagian, ini ilustrasi itu disediakan untuk tiga bidang penelitian: media skala
kecil elektronik, komunitas online berbasis fisik, dan diskusi publik dan debat
di Internet. Meskipun penelitian dari daerah lain bisa dipilih seperti
pembangunan masyarakat dan desain, budaya dan bahasa, identitas dan
berorientasi komersial , studi yang disajikan di sini menggambarkan beberapa
pekerjaan yang dilakukan di sekitar masyarakat dan Media.
Skala kecil Media
Elektronik
Mitchell
(2001), Coleman (2001), Stein (2001), dan akhirnya Barlow (2001) meneliti
kebijakan dan praktik tiga stasiun radio komunitas di Australia mengenai fitur
kunci dari sektor penyiaran. Sementara semua tions station tampaknya untuk
memberi penghormatan kepada prinsip-prinsip akses dan partisipasi, ia menemukan
bahwa tiga stasiun tersebut berbeda secara substansial dalam praktek mereka.
Semua stasiun tunduk pada ketegangan yang disebabkan oleh kekhawatiran
profesional , mempopulerkan dan komersialisasi radio komunitas.
Kesimpulan
New
Media adalah revolusi dari perkembangan teknologi jaman dahulu yang kurang
efisien dan setelah berjalannya waktu, perkembangan jaman teknologi tersebut
semakin berkembang dan berkembang. Dengan kata lain, tidak ada batasanya sampai
mana teknologi yang dapat dikatakan new
media dan tidak ada batasannya pula teknologi dapat mempengaruhi cara
berpikir masyarakat serta cara masyarakat bersosialisasi. Oleh karena itu
diperlukan batasan-batasan yang kita buat agar tidak terlalu terlarut dalam
mudahnya kehidupan yang dibuat oleh teknologi media.